PENGGUNAAN ALKITAB DAN TEOLOGI-TEOLOGI EKONOMI
I.
Data
Buku
Pillzer. Dalam
Alkitab, Abraham dikenal sebagai “bapa leluhur”. Abraham diyakini menjadi bapa
bagi banyak bangsa termasuk juga beberapa agama yang menceritakan tentang
kisahnya. Melihat perjalanan hidup Abraham, sebenarnya Abraham hanyalah manusia
biasa namun diberikan ikatan khusus dengan Allah yaitu berupa perjanjian bahwa
Allah akan memberikannya keturunan seperti bintang di langit dan pasir di tepi
pantai. Tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itulah, beberapa agama seperti
Kristen mengklaim bahwa keturunan Abraham suatu saat nanti semua akan menjadi
Kristen, begitu juga dengan umat muslim yang mengatakan bahwa semua keturunan
Abraham nantinya akan menjadi islam.
Namun,
setelah dikaji, ternyata bukan perjanjian seperti itu yang dimaksudkan oleh
Allah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa seluruh yang ada di dunia ini
merupakan milik Allah. Setiap orang yang sudah dilahirkan ke dunia ini memiliki
hak untuk menikmati ciptaan Allah. Tentu saja semua ciptaan itu harus dijaga
dan dipelihara oleh manusia. Itu sebabnya Allah sendiri pun tidak tinggal diam
dalam mengawasi ciptaanNya. Konsep ekonomi yang berasal dari Abraham merupakan
konsep ekonomi yang tidak terbatas. Setiap orang di dunia ini sudah diikat
Allah dengan perjanjian untuk saling menghargai properti atau barang milik
pribadi masing-masing. Properti yang dimaksud bukan hanya mencakup benda fisik
semata melainkan talenta, kemampuan, naluri, akal pikiran, dan persekutuan
dengan sesama manusia yang saling memahami. Dengan menghargai properti
masing-masing, maka tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk menjadi
kaya.
Dalam
buku Duchrow ada 5 ketentuan Alkitab
untuk mengingat kembali masa lampau.
1)
Allah
merupakan Allah Yang Adil. Ini terlihat dalam Alkitab dimana Allah sendiri
tinggal bersama penderitaan orang-orang yang sengsara (bnd. Matius 25:31 dst).
2)
Mengikutsertakan
Allah dalam setiap usaha bidang kehidupan.
3)
Sistem
ekonomi, politik pada dasarnya selalu bersinggungan dengan Allah yang mencipta
kebebasan.
4)
Muncul
berbagai isu tentang eksistensi Allah.
5)
Pendengaran
akan cerita pembebasan dari Allah kepada manusia dan mengimaniNya dalam hati
berarti bersikap rendah hati dan terbuka terhadap sesama dan tidak bersikap
mementingkan kepentingan pribadi.
II.
Analisa
Pillzer
lebih condong membahas dalam bukunya tentang perjanjian yang diikrarkan Allah
kepada bapa leluhur umat manusia. Dia juga melihat bagaimana eksistensi
perjanjian tersebut tinggal di dalam masyarakat pada saat ini. Artinya, secara
tidak langsung, dia melihat bahwa meskipun Allah yang dalam rupa Yesus Kristus
telah naik ke sorga, bukan berarti Allah tinggal diam dan tidak peduli dengan
ciptaanNya. Namun, Allah sangat peduli dan Yesus sendiri pun menjanjikan
penghiburan yaitu Roh Kudus kepada umat yang setia menanti kehadiranNya.
Duchrow lebih spesifik
membahas sebab musabab mengapa terjadi kemiskinan, mengapa terdapat
ketidakadilan, dan bagaimana eksistensi Allah yang dikatakan Maha Adil?
Sehingga tibalah dia pada suatu kesimpulan bahwa terjadinya ketidakadilan
disebabkan oleh adanya kaum-kaum tertentu yang mengambil jauh lebih banyak
harta yang memang adalah hasil usahanya tetapi tidak dibagikan dengan sesama
manusia yang jauh di bawah garis kemiskinan.
III.
Hal yang
disetujui
Saya
setuju dengan pernyataan bahwa Allah itu Maha Adil dan memperhatikan kaum-kaum
yang lemah. Terjadinya ketidakadilan adalah karena ada manusia yang mengambil
jauh lebih banyak padahal dengan hidup berkecukupan sebenarnya sudah sangat
baik namun ada saja yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lebih
sehingga terciptalah budaya korupsi dalam masyarakat. Alangkah baiknya jika
harta yang didapatkan adalah hasil usahanya sendiri dengan cara yang halal.
IV.
Hal yang
dipertanyakan
¯ Mengapa masih
ada saja orang (khususnya Kristen) yang hidup miskin dan apa peran serta gereja
dalam menuntaskan kemiskinan?
¯ Ada sebuah
tafsiran yang cukup “extreme” yang terbesit di pikiran saya, dimana ketika
Allah mengatakan kepada Abraham bahwa keturunannya akan banyak seperti bintang
di langit dan pasir di dasar laut. Jika keturunannya seperti bintang di langit,
maka itulah kaum-kaum kelas atas atau kaya dan orang-orang terpandang.
Kebalikannya, jika keturunannya seperti pasir di dasar laut, maka itulah yang
disebut orang-orang miskin, terhina, tertindas, para budak dan lain sebagainya.
Sejauh manakah tafsiran ini dapat berlaku? Dan jikalau tafsiran ini salah
–dengan melihat realitas sosial yang terjadi sekarang- sampai sejauh manakah
kita bisa memastikan kesalahan tafsiran ini?