Jumat, 18 Agustus 2017

RIngkasan Singkat Teologi Ekonomi Sebagai Pengantar

PENGGUNAAN ALKITAB DAN TEOLOGI-TEOLOGI EKONOMI
I.                   Data
Buku Pillzer. Dalam Alkitab, Abraham dikenal sebagai “bapa leluhur”. Abraham diyakini menjadi bapa bagi banyak bangsa termasuk juga beberapa agama yang menceritakan tentang kisahnya. Melihat perjalanan hidup Abraham, sebenarnya Abraham hanyalah manusia biasa namun diberikan ikatan khusus dengan Allah yaitu berupa perjanjian bahwa Allah akan memberikannya keturunan seperti bintang di langit dan pasir di tepi pantai. Tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itulah, beberapa agama seperti Kristen mengklaim bahwa keturunan Abraham suatu saat nanti semua akan menjadi Kristen, begitu juga dengan umat muslim yang mengatakan bahwa semua keturunan Abraham nantinya akan menjadi islam.
Namun, setelah dikaji, ternyata bukan perjanjian seperti itu yang dimaksudkan oleh Allah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa seluruh yang ada di dunia ini merupakan milik Allah. Setiap orang yang sudah dilahirkan ke dunia ini memiliki hak untuk menikmati ciptaan Allah. Tentu saja semua ciptaan itu harus dijaga dan dipelihara oleh manusia. Itu sebabnya Allah sendiri pun tidak tinggal diam dalam mengawasi ciptaanNya. Konsep ekonomi yang berasal dari Abraham merupakan konsep ekonomi yang tidak terbatas. Setiap orang di dunia ini sudah diikat Allah dengan perjanjian untuk saling menghargai properti atau barang milik pribadi masing-masing. Properti yang dimaksud bukan hanya mencakup benda fisik semata melainkan talenta, kemampuan, naluri, akal pikiran, dan persekutuan dengan sesama manusia yang saling memahami. Dengan menghargai properti masing-masing, maka tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk menjadi kaya.
Dalam buku Duchrow ada 5 ketentuan Alkitab untuk mengingat kembali masa lampau.
1)      Allah merupakan Allah Yang Adil. Ini terlihat dalam Alkitab dimana Allah sendiri tinggal bersama penderitaan orang-orang yang sengsara (bnd. Matius 25:31 dst).
2)      Mengikutsertakan Allah dalam setiap usaha bidang kehidupan.
3)      Sistem ekonomi, politik pada dasarnya selalu bersinggungan dengan Allah yang mencipta kebebasan.
4)      Muncul berbagai isu tentang eksistensi Allah.
5)      Pendengaran akan cerita pembebasan dari Allah kepada manusia dan mengimaniNya dalam hati berarti bersikap rendah hati dan terbuka terhadap sesama dan tidak bersikap mementingkan kepentingan pribadi.
 
 
II.                Analisa
Pillzer lebih condong membahas dalam bukunya tentang perjanjian yang diikrarkan Allah kepada bapa leluhur umat manusia. Dia juga melihat bagaimana eksistensi perjanjian tersebut tinggal di dalam masyarakat pada saat ini. Artinya, secara tidak langsung, dia melihat bahwa meskipun Allah yang dalam rupa Yesus Kristus telah naik ke sorga, bukan berarti Allah tinggal diam dan tidak peduli dengan ciptaanNya. Namun, Allah sangat peduli dan Yesus sendiri pun menjanjikan penghiburan yaitu Roh Kudus kepada umat yang setia menanti kehadiranNya.
Duchrow lebih spesifik membahas sebab musabab mengapa terjadi kemiskinan, mengapa terdapat ketidakadilan, dan bagaimana eksistensi Allah yang dikatakan Maha Adil? Sehingga tibalah dia pada suatu kesimpulan bahwa terjadinya ketidakadilan disebabkan oleh adanya kaum-kaum tertentu yang mengambil jauh lebih banyak harta yang memang adalah hasil usahanya tetapi tidak dibagikan dengan sesama manusia yang jauh di bawah garis kemiskinan.
III.             Hal yang disetujui
Saya setuju dengan pernyataan bahwa Allah itu Maha Adil dan memperhatikan kaum-kaum yang lemah. Terjadinya ketidakadilan adalah karena ada manusia yang mengambil jauh lebih banyak padahal dengan hidup berkecukupan sebenarnya sudah sangat baik namun ada saja yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lebih sehingga terciptalah budaya korupsi dalam masyarakat. Alangkah baiknya jika harta yang didapatkan adalah hasil usahanya sendiri dengan cara yang halal.
IV.             Hal yang dipertanyakan
¯  Mengapa masih ada saja orang (khususnya Kristen) yang hidup miskin dan apa peran serta gereja dalam menuntaskan kemiskinan?
¯  Ada sebuah tafsiran yang cukup “extreme” yang terbesit di pikiran saya, dimana ketika Allah mengatakan kepada Abraham bahwa keturunannya akan banyak seperti bintang di langit dan pasir di dasar laut. Jika keturunannya seperti bintang di langit, maka itulah kaum-kaum kelas atas atau kaya dan orang-orang terpandang. Kebalikannya, jika keturunannya seperti pasir di dasar laut, maka itulah yang disebut orang-orang miskin, terhina, tertindas, para budak dan lain sebagainya. Sejauh manakah tafsiran ini dapat berlaku? Dan jikalau tafsiran ini salah –dengan melihat realitas sosial yang terjadi sekarang- sampai sejauh manakah kita bisa memastikan kesalahan tafsiran ini?